PERLINDUNGAN KORBAN DITINJAU DARI TUJUAN PEMIDANAAN DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA
Oleh : Chairunnazri Harahap, S.H (227005130), Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara
Tujuan pemidanaan mencakup dalam hal memelihara solidaritas masyarakat. Pemidanaan harus diarahkan untuk memelihara dan mempertahankan kesatuan masyarakat (to mantain social cohasion intact). Hukum pidana tidak boleh hanya berorientasi pada perbuatan manusia saja (daad strafrecht) sebab dengan demikian hukum pidana menjadi tidak manusiawi dan mengutamakan pembalasan. Sebaliknya, hukum pidana juga tidak benar apabila hanya memperhatikan si pelaku saja (daderstrafrecht), sebab dengan demikian penerapan hukum pidana akan berkesan memanjakan penjahat dan kurang memperhatikan kepentingan yang luas, yaitu kepentingan masyarakat, kepentingan negara, dan kepentingan korban tindak pidana.
Kepentingan korban tindak pidana, yaitu pihak yang merasakan langsung akibat dari suatu kejahatan selayaknya memperoleh perhatian khusus dalam hukum pidana di Indonesia. Namun sayangnya penegakan hukum pidana berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) kurang mengapresiasi posisi korban tindak pidana. KUHP memiliki kelemahan yaitu lebih berat meletakkan orientasi pada pelaku kejahatan.
Penyelesaian perkara pidana seringkali mengedepankan kepentingan tersangka atau terdakwa, sementara kepentingan korban diabaikan. Posisi korban pasif, hanya berkedudukan sebagai saksi dari suatu perkara pidana yang sematamata untuk membuktikan kesalahan tersangka atau terdakwa. Posisi korban sebagai pencari keadilan tak lagi mendapat keadilan yang diinginkan, hal itu disebabkan kepentingan korban tidak ada yang mewakili ataupun memperjuangkan dalam proses berjalannya sistem peradilan pidana.
Kedudukan korban di dalam persidangan bukan sebagai pihak dalam perkara pidana yang mengakibatkan korban tidak mendapatkan perlindungan memadai terhadap hak-haknya. Ketika keterangan yang diberikan oleh korban dianggap mencukupi, maka selesai pula kedudukan dan peranan korban dalam mekanisme peradilan pidana. Korban tidak berhak untuk menentukan sanksi apa dan seberapa berat yang akan dituntutkan atau dijatuhkan kepada pelaku karena telah menjadi monopoli aparat penegak hukum. Ketika sanksi telah dijatuhkan dan harus dijalankan oleh pelaku, kewenangan untuk menentukan cara bagaimana sanksi itu dijalankan juga diputuskan tanpa perlu meminta pendapat korban.
Bertolak dari hal-hal yang telah diuraikan di atas, Maka perlu adanya gagasan pengaturan pemidanaan yang berorientasi pada korban. Gagasan tersebut telah dirumuskan dalam Konsep Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Dengan konsep RKUHP ini, maka dalam mempelajari hal yang bersifat dogma atau substansial dalam KUHP hendaklah diiringi dengan kebijaksanaan dan kewaspadaan. Artinya, jika hal-hal yang berbau dogma didalam KUHP digunakan secara kaku (tanpa kebijaksanaan), maka output yang dihasilkan tentu saja menghambat tujuan penegakan hukum pidana, bahkan tidak tertutup kemungkinan menghambat ide-ide pembaharuan hukum pidana Indonesia yang selalu digaungkan.
Upaya melakukan pembaharuan hukum pidana, pada hakikatnya termasuk bidang kebijakan hukum pidana yang merupakan bagian dan terkait erat dengan kebijakan penegakan hukum, kebijakan kriminal dan kebijakan sosial. Maka dari itu pembaharuan hukum pidana pada prinsipnya merupakan bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk memperbaharui substansi hukum dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum, menanggulangi kejahatan dalam rangka perlindungan masyarakat, serta mengatasi masalah sosial dan masalah kemanusiaan dalam rangka mencapai tujuan nasional yaitu perlindungan sosial dan kesejahteraan sosial.
Pembaharuan Hukum Pidana pada hakikatnya mengandung makna suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi Hukum Pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentralsosio-politik, sosio-filosofik dan sosiocultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Pembaharuan Hukum Pidana dalam arti memperbaharui secara menyeluruh dan bukan secara parsial, yang meliputi Substansi hukum (Legal Substance), Struktur hukum (Legal Structure) dan Budaya hukum (Legal Culture).
Berkenaan dengan hal ini Barda Nawawi Arief menyatakan: Salah satu kajian alternatif/perbandingan yang sangat mendesak dan sesuai dengan ide Pembaharuan Hukum Nasional saat ini ialah kajian terhadap Keluarga Hukum (Family Law) yang lebih dekat dengan karakter masyarakat dan sumber hukum di Indonesia yang bersumber dari nilai-nilai Hukum adat dan Hukum Agama. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian perbandingan dari sudut “Keluarga Hukum Tradisional dan Agama” (Tradisional and ReligiousLaw Family). Kajian komparatif yang demikian tidak hanya merupakan suatu kebutuhan tetapi juga suatu keharusan.
Salah satu pembaharuan dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) adalah dimunculkannya pengaturan rinci terkait pedoman pemidanaan. Perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan dimaksudkan sebagai fungsi pengendali/kontrol/pengarah dan sekaligus memberikan dasar/landasan filosofis, rasionalitas, motivasi, dan justifikasi pemidanaan. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap keseimbangan atau keselarasan berbagai kepentingan dan nilai yang terganggu sebagai akibat dari adanya kejahatan. Wajar pula apabila penegakan hukum pidana harus dapat menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, dapat memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
Berdasarkan ide keseimbangan antara perlindungan atau kepentingan pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana maka tujuan penyelenggaraan peradilan pidana adalah menyelesaikan konflik (conflict resolution) dengan melibatkan korban dalam proses peradilan pidana merupakan hal yang penting, karena hubungan korban, masyarakat, dan pelanggar menjadi fokus untuk melakukan mediasi dan rekonsiliasi guna menyelesaikan konflik yang mereka hadapi.