amas maulana
HukumOpini

PROBLEMATIKA EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN DALAM KEPAILITAN

Oleh : Sauki Rizki, S.H (227005140), Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara

Adanya dua ketentuan yang mengatur mengenai Eksekusi Hak Tanggungan dalam Kepailitan, yaitu dalam ketentuan UUHT dengan Ketentuan UUKPKPU, tentunya menyebabkan konflik norma yang akan menimbulkan multitafsir serta suatu ketidakpastian hukum bagi pelaku ekonomi khususnya pemegang Hak Tanggungan yang mengatur mengenai hak kreditor separatis pemegang Hak Tanggungan, yang nantinya akan berpengaruh terhadap proses eksekusi Hak Tanggungan dalam kepailitan.

Slot Iklan

Dalam Pasal 1 butir 1 UUHT, menjelaskan bahwa Hak Tanggungan adalah Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.8 Dari pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa Hak tanggungan mempunyai beberapa ciri-ciri pokok, yaitu : 1). Memberikan kedudukan diutamakan (preferensi) kepada kreditor- kreditornya/droit de preference; 2). Selalu mengikuti objeknya dalam tangan siapa pun berada/droit de suite; 3). Memenuhi asas spesialitas dan publisitas; 4). Mudah serta pasti pelaksanaan eksekusinya.

Dalam UUHT, Eksekusi obyek Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 20 ayat (1) UUHT, yang mengatur bahwa “Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan : a). hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau b). titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang- undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor lainnya.” Berdasarkan pasal ini, dapat diketahui bahwa eksekusi terhadap obyek hak tanggungan itu bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan Parate eksekusi/eksekusi dengan kekuasaan sendiri dan fiat eksekusi/eksekusi melalui pengadilan.

Mengenai parate eksekusi, diatur dalam Pasal 6 UUHT, pada pokoknya disebutkan bahwa kreditor pemegang Hak Tanggungan mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Akan tetapi pelaksanaan penjualan obyek Hak Tanggungan tersebut lebih lanjut diuraikan dalam Penjelasan Pasal 6 UUHT yang menyebutkan bahwa Hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan terlebih dahulu harus didasarkan oleh janji yang diberikan oleh pemberi Hak Tanggungan, apabila debitor cidera janji maka pemegang Hak Tanggungan bisa langsung menjual melalui pelelangan umum tanpa persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan.

Adapun Prosedur pelaksanaan parate eksekusi, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 UUHT menegaskan bahwa pelaksanaan parate eksekusi adalah melalui pelelangan umum, sehingga dalam hal ini dilakukan oleh Pejabat Kantor Lelang Negara, sehingga prosedur parate eksekusi tanpa memerlukan fiat Ketua Pengadilan Negeri, akan tetapi pada praktiknya, Kantor Lelang negara dalam melaksanakan penjualan lelang eksekusi terhadap obyek hak tanggungan harus ada fiat eksekusi Ketua Pengadilan Negeri dikarenakan berdasarkan penjelasan umum angka 9 jo. penjelasan Pasal 14ayat 2 dan ayat 3 UUHT disebutkan bahwa pada intinya prosedur parate eksekusi harus mendasarkan pada Pasal 224/Pasal 258 RBg, sehingga oleh karenanya pelaksanaan lelang harus terlebih dahulu mendapatkan fiat Ketua Pengadilan Negeri di mana obyek Hak Tanggungan berada.

Baca Juga :  Setelah Sukses di DKI, Anies Diminta Memimpin Indonesia

Adapun mengenai cara eksekusi terhadap obyek hak tanggungan yang kedua sebagaimana disebutkan dalam Pasal 20 UUHT yaitu fiat eksekusi/eksekusi melalui pengadilan, sertifikat Hak Tanggungan ini muncul sebagai akibat hukum adanya irah-irah “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang terdapat pada sertifikat Hak Tanggungan. Dengan adanya irah-irah tersebut, mengakibatkan Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial seperti Putusan Pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Selama ini eksekusi melalui fiat eksekusi sering dilakukan oleh Kreditor dibandingkan penjualan di bawah tangan atau penjualan lelang atas kekuasaan sendiri/parate eksekusi menjadi pilihan utama dari Para Kreditur. Jadi apabila debitor wanprestasi, maka kreditor akan mengajukan permohonan ke Pengadilan untuk dilakukan eksekusi hak tanggungan berdasarkan titel eksekutorial dalam Sertifikat Hak Tanggungan tersebut.

Sementara itu, ternyata pengaturan mengenai eksekusi Hak Tanggungan oleh Kreditor Separatis dalam Kepailitan, tidak saja diatur dalam UUHT akan tetapi juga di dalam UUKPKPU, sehingga menyebabkan terjadinya konflik norma di Indonesia.

Dalam ketentuan Pasal 55 ayat (1) UUKPKPU, diketahui bahwa ternyata posisi Kreditor pemegang Hak Tanggungan apabila terjadi pailit terhadap Debitor, dia dapat mengeksekusi sendiri haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Akan tetapi ternyata terhadap hal ini tidak bisa diterapkan seketika sebagaimana yang berlaku dalam UUHT, karena untuk bisa melakukan eksekusi terhadap Hak Tanggungan yang debitornya pailit ada syarat-syarat tertentu yang membatasi, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 56 UUKPKPU, ada masa stay selama 90 hari setelah debitor dinyatakan pailit, di mana selama waktu 90 hari tersebut Kreditor pemegang Hak Tanggungan tidak diperbolehkan untuk menjual objek jaminannya tersebut. Di mana penangguhan ini bertujuan antara lain : 1) untuk memperbesar kemungkinan tercapainya perdamaian, 2) untuk memperbesar kemungkinan mengoptimalkan harta pailit; atau 3) untuk memungkinkan Kurator melaksanakan tugasnya secara optimal. Selama berlangsungnya jangka waktu penangguhan, segala tuntutan hukum untuk memperoleh pelunasan atas suatu piutang tidak dapat diajukan dalam sidang Badan Peradilan, dan baik Kreditor maupun pihak ketiga dimaksud dilarang mengeksekusi atau memohonkan sita atas benda yang menjadi agunan.

Selanjutnya, setelah masa stay selama 90 hari itu berakhir, tidak serta merta Kreditor pemegang Hak Tanggungan dapat langsung melakukan eksekusi terhadap obyek hak tanggungan, karena untuk dapat melakukan eksekusi obyek hak tanggungan tersebut, harus menunggu boedel pailit dalam status insolvensi sebagaimana dalam Pasal 178 ayat (1) UUKPKPU, yang mana pernyataan demi hukum harta pailit berada dalam keadaan insolvensi dinyatakan secara tegas oleh Hakim Pengawas dalam Rapat Kreditor dan dituangkan dalam Berita Acara, tidak perlu dengan Penetapan. Setelah ada pernyataan insolvensi itulah baru kemudian sebagaimana Pasal 59 ayat (1) UUKPKPU, kreditor pemegang Hak Tanggungan bisa memulai untuk melaksanakan eksekusi secara langsung (parate eksekusi) dalam jangka waktu 2 (dua) bulan setelah penetapan insolvensi tersebut. Adapun untuk jangka waktu 2 (dua) bulan tersebut dimaksudkan kreditor pemegang Hak Tanggungan sudah memulai melaksanakan haknya, bukan selesainya Kreditor melaksanakan eksekusi sendiri, hal ini sejalan dengan penjelasan Pasal 59 ayat (1) UUKPKPU yang berisi “yang dimaksud dengan “harus melaksanakan haknya” adalah bahwa Kreditor sudah mulai melaksanakan haknya”.

Baca Juga :  Panik Takut Anies Menang

Apabila ternyata waktu selama 2 (dua) bulan yang sudah diberikan kepada Kreditor pemegang Hak Tanggungan untuk melakukan eksekusi secara langsung (Parate eksekusi) terhadap obyek hak tanggungan sudah selesai, maka berdasarkan Pasal 59 ayat (2) UUKPKPU, Kurator akan meminta dokumen-dokumen hak tanggungan yang berkaitan dengan benda yang menjadi agunan untuk selanjutnya dijual melalui pelelangan umum sebagaimana Pasal 185 UUKPKPU, dan jika pelelangan umum tidak laku, maka Kurator bisa menjualnya dengan cara penjualan di bawah tangan dengan persetujuan Hakim pengawas. Selanjutnya hasil dari penjualan obyek hak tanggungan tersebut menjadi keutamaan untuk melunasi hutang debitor pada kreditor pemegang Hak Tanggungan yang mana pembayarannya dikurangi dengan biaya-biaya dan hak yang telah ditentukan dalam UUKPKPU.

Apabila dilihat prosedur eksekusi Hak Tanggungan dalam Kepailitan berdasarkan UUHT dan UUKPKPU, ternyata memang terjadi konflik norma, di mana di dalam UUHT, Kreditor pemegang Hak Tanggungan mempunyai kedudukan sebagai de droit preference dan de droit suite, sehingga apabila Debitor melakukan wanprestasi maka Kreditor dengan kekuasaan sendiri dapat menjual langsung obyek hak tanggungan, sebagai salah satu ciri dari preferensi dan sifat kreditor separatis yang diberikan kekuasaan atas jaminan, maka kepadanya diberikan hak oleh hukum untuk mengeksekusi hak tanggungan sebagai perwujudan dari asas de droit preference. Akan tetapi ternyata hal ini tidak berlaku apabila terjadi pada proses kepailitan. Dalam arti apabila Debitor dijatuhi putusan Pailit, maka berdasarkan UUKPKPU, meskipun dalam Pasal 55 ayat (1) UUKPKPU dinyatakan bahwa kreditor pemegang hak gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan, akan tetapi ternyata dalam membaca Pasal tersebut tidak bisa berdiri sendiri melainkan harus dibaca bersama-sama dengan Pasal 56, Pasal 57 dan Pasal 58 UUKPKPU, yang di dalamnya mengatur mengenai persyaratan-persyaratan yang harus dilakukan sebelum kreditor pemegang Hak Tanggungan bisa mengeksekusi sendiri seolah-olah tidak ada kepailitan, yaitu dengan diberlakukannya masa stay selama 90 hari dan juga pembatasan selama 2 bulan untuk bisa menjual obyek hak tanggungan setelah masa insolven.

Dengan adanya penangguhan/masa stay selama 90 hari, maka kreditor pemegang Hak Tanggungan tidak bisa lagi melaksanakan hak eksekusinya, padahal setiap hak tanggungan mempunyai titel eksekutorial yang memberikan kekuasaan kepada kreditor untuk melakukan eksekusi terhadap benda jaminan dari debitor untuk pelunasan utang yang tak terbayar, di mana untuk titel eksekutorial ini mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Berdasarkan uraian tersebut, maka yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, terkait dengan adanya problematika yang dihadapi dalam eksekusi Hak Tanggungan dalam kepailitan dikaitkan dengan adanya konflik norma antara UUHT dan UUKPKPU.

Dalam rangka menyelesaikan konflik norma, supaya dapat melihat penerapan hukum/norma mana yang seharusnya berlaku tentu saja diperlukan suatu asas untuk menyelesaikan konflik norma tersebut, yang dalam hal ini dapat digunakan asas preferensi. Adapun asas preferensi ini adalah asas hukum yang menunjuk hukum mana yang harus didahulukan atau diberlakukan jika dalam suatu peristiwa hukum terkait atau terlanggar beberapa peraturan. Ada beberapa asas preferensi yaitu 1). Lex superiori derogate legi inferiori yaitu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi akan mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, 2). Lex specialis derogate legi generali, yaitu peraturan yang khusus akan mengesampingkan peraturan yang umum sifatnya atau peraturan yang khususlah yang harus didahulukan., 3). Lex posteriori derogate legi priori, yaitu peraturan yang baru mengalahkan atau mengesampingkan peraturan yang lama.

Slot Iklan

Apabila diterapkan asas Lex specialis derogate legi generalis, maka UU yang berlaku adalah UUKPKPU, dikarenakan meskipun sama-sama mengatur mengenai Hak Tanggungan akan tetapi apabila sudah masuk ke ranah Kepailitan yang merupakan sita umum, maka semuanya tetap tunduk ke dalam ranah kepailitan yang mana dalam hal ini diatur dengan UUKPKPU, termasuk di dalamnya mengenai proses eksekusi Hak Tanggungan dalam kepailitan. Sehingga dengan demikian terkait dengan penerapan hak eksekusi Hak Tanggungan yang dijamin oleh UUHT tetap dapat dilaksanakan akan tetapi untuk pelaksanaannya tetap harus tunduk pada UUKPKPU.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *