amas maulana
Hukum

Pertanggungjawaban Pidana Mati dalam Pembaharuan Hukum Pidana

Oleh : Ana Muliandari, S.H 

Pidana Mati, merupakan salah satu sanksi pidana yang masih diberlakukan di Indonesia. Ketentuan pidana mati diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pidana mati merupakan pengecualian dari asas konkordansi dalam penerapan KUHP Belanda ke dalam sistem hukum Hindia Belanda pada tahun 1918, karena sejatinya di Belanda pidana mati telah dihapuskan dalam sistem pemidanaan Belanda, sejak 1870. Sanksi pidana mati telah banyak dihapuskan di berbagai belahan dunia, namun demikian terdapat pula negara-negara yang masih mempertahankan pidana mati dalam sistem pemidanaannya. Roger Hood mengelompokkan dalam empat kelompok negara dalam pengaturan pidana mati. Pertama negara yang telah menghapuskan pidana mati untuk semua kejahatan, kedua negara yang menghapuskan pidana mati untuk kejahatan biasa, ketiga negara yang menghapuskan pidana mati secara de facto, keempat, negara yang mempertahankan pidana mati. Negara yang masuk dalam kategori menghapus pidana mati secara de facto menurut kategori Cornell University, disebut dengan abolitionist de facto, yaitu negara yang masih mengatur pidana mati tetapi tidak pernah di terapkan atau menerapkan namun tidak melaksanakan eksekusi. Pidana mati telah pula diuji ke Mahkamah Konstitusi, dan Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pidana mati adalah Konstitusional.  

Slot Iklan

Penjara Mati dalam Pembaharuan Hukum Pidana

Penerimaan terhadap pidana mati tampak dari pandangan bahwa masyarakat Indonesia secara umum masih menganggap hukuman mati sebagai bentuk pemidanaan yang dapat diterima, baik berdasarkan hukum adat maupun hukum pidana Islam. Mengabaikan pandangan masyarakat tentu akan menimbulkan masalah dalam penerapan hukum, karena dapat menyebabkan benturan antara kepentingan masyarakat dan kepentingan negara sebagaimana telah tertuang dalam aturan. Padangan Ahli hukum pidana menunjukkan selama belum ditemukan cara yang efektif untuk memperbaiki individu yang telah diupayakan dapat diperbaiki kembali menjalani norma sosial yang diterima masyarakat, maka pidana mati menjadi pilihan terbaik. Pidana mati di Indonesia semakin menjadi polemik karena pelaksanaan eksekusi pidana mati yang memerlukan waktu yang cukup lama. Lamanya pelaksanaan eksekusi terkendala aspek prosedural yang dapat ditempuh oleh terpidana mati baik melalui grasi maupun peninjuan kembali. Setelah peninjauan kembali dapat dilakukan tidak hanya satu kali, menambah beban panjang lambatnya proses eksekusi mati bagi terpidana mati. Hukuman mati dalam hukum positif diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap perbuatan pidana sebagai berikut: makar terhadap Kepala Negara (Pasal 104 KUHP), mengajak negara asing untuk berperang melawan Indonesia (Pasal 111 ayat (2) KUHP), memberikan pertolongan kepada negara asing yang sedang berperang dengan Indonesia (Pasal 124 ayat (3)), membunuh kepala negara sahabat (Pasal 104 ayat (3)), pembunuhan berencana (Pasal 140 ayat (3) dan Pasal 340), pencurian berkelompok dengan menggunakan kekerasan atau kejahatan lain pada waktu malam sehingga menimbulkan korban yang meninggal dunia atau luka berat (Pasal 444 KUHP), pembajakan laut yang menyebabkan korban meninggal (Pasal 124 bis), menganjurkan huru-hara, pemberontakan pada waktu negara dalam keadaan perang (Pasal 124 bis), melakukan penipuan dalam mensuplai keperluan perang angkatan perang dalam keadaan perang (Pasal 127 dan 129 KUHP) serta pemerasan dengan pemberatan (Pasal 368 ayat (2) KUHP). Terdapat dua putusan Mahkamah Konstitusi berkenaan dengan pidana mati yakni Putusan Mahkamah Konstitusi No 2-3/PUU-V/2007 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Putusan Nomor 21/PUU-VI/2008 mengenai Pengujian UU No 02/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati.

Baca Juga :  Polres Pringsewu, Buka Layanan Bimbel Gratis Pembuatan SIM

Pasal 87 RUU KUHP mengatur pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif’. Hukuman mati sebagai klausul hukuman alternatif adalah menjadi hukuman seumur hidup atau pidana 20 tahun apabila terpidana berkelakuan baik. Pasal 88 RUU KUHP mengatur tata cara pelaksanaan pidana mati. Pidana mati dilaksanakan dengan menembak terpidana sampai mati oleh regu tembak. Pelaksanaan pidana mati terhadap wanita hamil atau orang yang sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut melahirkan atau orangy ang sakit jiwa tersebut sembuh. Pidana mati baru dapat dilaksanakan setelah permohonan grasibagi terpidana ditolak Presiden. Ketentuan pidana mati yang dilaksanakan dengan menembak terpidana merupakan bentuk lama yang telah diarahkan oleh Mahkamah Konstitusi untuk dapat dicari alternatif metode pelaksanaan pidana mati yang lebih ringan dalam memberikan rasa sakit dan penderitaan bagi terpidana mati saat dieksekusi. Pasal 89 RUU KUHP menegaskan pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun. Syaratnya, reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar, terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki, kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting, dan ada alasan yang meringankan. Jika terpidana selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dengan keputusan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. Sebaliknya, jika terpidana tak berubah, maka, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung‟. Pasal 90 RUU KUHP menegaskan jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun bukan karena terpidana melarikan diri, maka pidana mati tersebut dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden. Pengaturan pidana mati dalam RUU KUHP mendapat sorotan dari anggota DPR dengan pandangan penundaan pelaksanaan hukuman mati menimbulkan ketidakpastian hukum.Pengaturan dan perdebatan berkenaan dengan pelaksanan pidana mati dan penundaan pidana mati atau masa percobaan, tidak memperhatikan kepentingan korban tindak pidana baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia. Adapun korban meninggal dunia tentu diwakilkan oleh anggota keluarga yang sah menurut hukum. Hal ini penting karena korbanlah yang paling utama merasakan akibat dari tindak pidana baik sebagai korban primer maupun korban sekunder. 

Baca Juga :  Polrestabes Medan Tangkap Pelaku Pungli UMKM di Lapangan Merdeka & Cemara

RUU KUHP perlu menegaskan proses perubahan pidana mati atau penundaan hukuman mati dengan memasukkan persetujuan korban, bukan pada saat putusan, tetapi setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Ketentuan pidana mati dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sangatlah sumir pengaturan dapat ditemukan dalam Pasal 269. Dalam hal pidana mati dilaksanakan terhadap terpidana, pelaksanaannya didasarkan pada ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Ketentuan pelaksanaan pidana mati akan mengikuti ketentuan dalam RUU KUHP atau undang-undang pelaksanaan sanksi pidana yang khusus mengatur tentang hukuman mati. Ada baiknya dalam RUU KUHAP diatur tentang prosedur pidana mati dihubungkan dengan adanya upaya hukum luar biasa. Hal ini karena dalam praktek pelaksanaan pidana mati menjadi panjang dan lama karena adanya prosedur-prosedur hukum yang masih ditempuh dana perlu mendapat perhatian dari Jaksa Eksekutor untuk melaksanakan tugasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *