amas maulana
Hukum

PASAL PENGHINAAN TERHADAP KEPALA NEGARA SEBAGAI PEMBATAS HAK KONSTITUSIONAL BERKAITAN DENGAN KEBEBASAN BERPENDAPAT DALAM ASPEK PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

Oleh : Jaka Ramadani, S.H

Jakaramadani74@gmail.com

Slot Iklan

Dalam tataran hukum tata negara, terdapat   salah   satu   teori   yang   berkaitan dengan hak-hak warga negara, khususnya hak kebebasan  berpendapat,  yaitu  teori demokrasi. Menurut, Prof Jimly Asshiddiqie, terdapat empatprinsip pokok dalam teori demokrasi, yaitu  1) adanyajaminan persamaan dan kesetaraan dalam kehidupan bersama; (2) adanya pengakuan dan penghormatan atas perbedaan; (3) adanya aturan yang mengikat dan menjadi sumber rujukan bersama; dan (4) adanya mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan pada mekanisme aturan yang ditaati bersama dalam konteks kehidupan bernegara, baik dalam dimensi yang bersifat horizontal, antara warga negara, maupun vertikal, yaitu antara institusi negara denganwarga negara.1  Sejatinya, hak kebebasan berpendapat telah dijamin dalam Pasal 28 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya             ditetapkan dengan undang-undang.”Dengan demikian, dapat  disebut bahwa kebebasanberpendapat adalah unsur esensial dalam demokrasi. Namun demikian, dalam penerapannya terdapat anggapan dari kaum  libertarian  bahwa  debat politik dapat menciptakan kegaduhan dan harus ditransformasi serta dikendalikan oleh rasionalitas ekonomi. Hal tersebut dilakukan salah  satunya  bertujuan  untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif. Maka dari itu, memang secara teoritis dapat disimpulkan bahwa demokrasi sejatinya melindungi adanya kebebasan untuk rakyatnya mengeluarkan pendapat.

Namun, seringkali pada praktiknya kebebasan dalam menyampaikan pendapat termasuk juga kritik pada penguasa atau lembaga negara/pemerintahan  sering dianggap sebagai sebuah tindak pidana penghinaan berdasarkan hukum yang berlaku. Di Indonesia, penghinaan terhadap penguasa danlembaga negara/pemerintahan diatur dalam klasterpenghinaan khusus Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berisi pengaturan mengenai kejahatanpenghinaan diluar Bab XVI KUHP tentang Penghinaan. Adapun objek penghinaan yang diatur dalam bagian penghinaan khusus KUHP adalah  mengenai  penghinaan terhadap Kepala Negara RI dan/atau wakilnya, yakni Presiden dan/atau Wakil Presiden RI yang diatur dalam Pasal 134 KUHP.  Sedangkan  dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terbaru, penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden RI  diatur  dalam Pasal 217 hingga 220 RKUHP. Selain pengaturan dalam hukum positif serta hukum yang dicita-citakan, terdapat juga beberapa putusan-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) di masa lalu yang dapat dijadikan rujukan atau presedenterhadap politik hukum pengaturan tindak pidana penghinaan terhadap penguasa dan lembaga negara/pemerintahan, yakni Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 mengenaiPenghinaan terhadap Presiden/Wakil Presiden, serta Putusan MK No. 6/PUU-V/2007 mengenai Penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia.

Salah satu bukti konkrit mengenai pelanggaran terhadapkebebasan dalam berpendapat tersebut dengan timbulnya kasus penghinaan terhadap Penguasa dan Lembaga Negara/Pemerintah.    Tepatnya    pada   Mei 2020, Ruslan Buton membuat rekaman suara yang menuntut kepadaJokowi untuk mundur dari   jabatannya   karena   dianggap    tidak pro-rakyat di tengah pandemi COVID-19. Rekaman  tersebut   mengandung   kata-kata yang dianggap bersifat provokatif dan menghina Lembaga Negara/Pemerintah yang sah.   Akibat   ucapannya   tersebut,   Ruslan Buton kemudian  dijemput  oleh  tim Bareskrim Polri bersama dengan Polda Sulawesi Tenggara dan Polres Buton pada Kamis, 28 Mei2020, di wilayah Kecamatan Wabula,  Kabupaten  Buton,  Sulawesi Tenggara. Ruslan Buton mengakui atas perbuatannya dan benar rekaman tersebut merupakan suaranya yang direkam pada 18 Mei 2020 lalu. Selanjutnya, Ruslan turut mengakui bahwa dia sendiri yang mendistribusikan rekaman tersebut ke Group WhatsApp  Serdadu  Eks  Trimatra. Dampak atas perbuatannya tersebut, maka Ruslan dijerat dengan Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) dan/atau Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang   Peraturan   Hukum   Pidana   yang dilapisi     dengan     Pasal     28     ayat     (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) denganancaman penjara 6 (enam) tahun dan/atau Pasal 270 KUHP dengan ancaman penjara 2 (dua) tahun. Tindak pidana penghinaan dalam KUHP umumnya dapat dibagi menjadi dua jenis, yakni penghinaan umum yang diatur dalam Bab XVI Buku II KUHP dan penghinaan khusus yang diatur  diluar  Bab XVI Buku II KUHP. Berdasarkan objek penggunaannya, objek penghinaan publik lebih ke arah serangan pribadi martabat seseorang, sedangkan objek penghinaan khusus   lebih   pada   martabat   kelompok.

Baca Juga :  Grebek Sarang Judi Di Pringsewu Lampung, Polisi Amankan ni

​Dalam bagian ini, saya ingin menganalisa bagaimana  hukum  pidana  mengatur mengenai tindak pidanapenghinaan terhadap penguasa dan lembaga negara/pemerintah. Secara umum, tindak pidana dapat diartikan sebagai perbuatan atau sikap yang menyerang  atau  merendahkan  kehormatan dan reputasi seseorang. Jadi,tindak pidana dapat juga didefinisikan sebagai perbuatan yang  menyerang  hak  seseorang  untuk menjaga nama baik dan kehormatannya. Sehingga dapat dikatakan bahwa niat untuk menghina penguasa atau lembaga negara/pemerintah adalah tindakan menyerang nama baik dan kehormatan dari penguasa dan lembaga negara/pemerintah tersebut, baik mereka sebagai subjek pribadi maupun sebagai institusi.Pembahasan mengenai pengaturan hukum  pidana  tak  akan  luput  dari pembahasan mengenai kebijakan hukum (legal policy) dan kebijakan hukum pidana (criminal legal policy). Kebijakan hukum adalah perumusan  suatu  peraturan  hukum  dengan inti pembuatan dan pemutakhiran bahan hukum,  sehingga  dapat  disesuaikan dengan keperluan masyarakat dan pelaksanaan ketentuan hukum yang ada.6 Sedangkan, kebijakan hukum pidana adalah upaya untuk mewujudkan dan membentuk peraturan perundang-undangan di bidang pidana yang baik dan sesuai dengan keadaan di masa kini hingga masa mendatang.7 Dalam kebijakan hukum  pidana,  perlu diperhatikan juga tata bahasa  yang  cermat  dan  teliti  dalam menyusun peraturan perundang-undangan terkait agar dapat mencegah perumusan norma hukum yang menimbulkan makna ganda dan ambiguitas serta dapat menjamin kepastian hukum.8  Di bagian ini, analisis mengenai  pengaturan  hukum  pidana mengenai penghinaan terhadap penguasa dan lembaga negara/pemerintah akan ditinjau berdasarkan   KUHP,   RKUHP,   dan putusan-putusan MK terkait. Berdasarkan pengaturan hukum saat ini, penghinaan terhadap penguasa atau lembaga negara/pemerintah diatur di Bab 8 KUHP  yakni mengenai Kejahatan terhadap Penguasa  Umum.  Lebih  spesifik,  hal  itu diatur dalam Pasal 207 KUHP, yang berbunyi “Barang  Siapa  dengan  sengaja  dimuka  umum, dengan lisan atau tulisan menghina sesuatu kekuasaan yang ada di Negara Indonesia atau sesuatu  majelis umum yang ada disana, dihukum penjara selama-lamanya satu tahun enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500“ serta Pasal 208  ayat  (1)  KUHP  yang  berbunyi “Barangsiapa menyiapkan, mempertontonkan atau menempelkan tulisan atau gambar yang isinya penghinaan bagi sesuatu majelis umum yang ada disana, dengan niat supaya isi yang menghina itu diketahui  oleh orang banyak atau lebih diketahui oleh     orang     banyak,     di     hukum     penjara selama-lamanya  empat  bulan  atau denda sebanyak Rp. 4,500.”Perkembangan pengaturan hukum pidana mengenai penghinaan terhadap penguasa dan lembaga negara/pemerintah juga dipengaruhi oleh putusan-putusan MK sebagai  lembaga  negara  dan  cabang kekuasaan kehakiman yang memainkan peranan penting dalam pembentukan hukum dan kebijakan publik. Sejak pendiriannya, MK telah menguji pasal penghinaan dalam KUHP beberapa  kali,  sehingga  lahir  beberapa putusan penting yang berkaitan dengan pengujian materi terkait pasal-pasal penghinaan terhadap penguasa dan lembaga negara/pemerintah, seperti Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006  mengenai Penghinaan  terhadap  Presiden/Wakil Presiden, serta Putusan MK No. 6/PUU-V/2007 mengenai Penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *